Trade Center, Mulai Ditinggalkan
Booming trade center di 1990-an kian populer saat itu. Salah satu pengembang Tanah Air sukses mengembangkan ITC. Sejak itulah, konsep trade center mulai populer di Indonesia. Seiring itu pula, pembangunan trade center pun mulai marak. Ada lagi satu faktor yang kian memarakkan pembangunan trade center. Yakni, di kalangan pengembang, konsep penjualan kios atau toko secara strata tittle—bukan dengan sistem sewa—mulai populer.
Kalau dilihat dari segi konfigurasi bangunan, sebenarnya trade center tak berbeda dengan konsep kios yang ditumpuk dalam satu bangunan besar. Bedanya, trade center punya atrium. Juga, jenis barang yang didagangkan lebih bervariasi.
Banyak pengembang ketika itu, berlomba-lomba mengembangkan proyek trade center. Tak tangung-tanggung luasan sebuah trade center bisa mencapai ratusan ribu meter persegi—semula hanya puluhan ribu meter persegi.
Lain dulu lain sekarang. Kini trade center mulai ditinggalkan oleh pengembang. Saat ini pengembang lebih melirik pusat belanja atau mal yang disewakan. Pasalnya, pengembang bisa mendapatkan pendapatan yang pasti di tiap bulannya.
Menurut Ferry Salanto, Associate Director Colliers International Indonesia meramaikan trade center tak seperti meramaikan mal.
“Artinya, meramaikan sebuah trade center tak semudah meramaikan mal. Sebab, mal didukung oleh anchor tenant besar. Sementara, trade center lebih banyak diisi oleh unit kios atau toko,” ungkapnya.
Lebih lanjut soal trade center. Ferry beranggapan bahwa trade center berhubungan dengan reputasi pengembang.
“Jika pengembang tidak sukses mengembangkan trade center, kedepannya pengembang tersebut tidak akan dipercaya oleh konsumen,” katanya.
Sementara itu, Vivin Harsanto, National Director Head of Strategic Consulting Jones Lang LaSalle Indonesia menjelaskan pengembang memang diuntungkan dengan adanya penjualan kios-kios di trade center.
“Pengembang mendapat dana tunai namun tidak bisa mengontrol konsumen yang membeli kios tersebut,” imbuhnya.
Bahkan ada pengembang yang membeli kembali kios yang terlah dijualnya atau buy back.
“Untuk membenahi trade center, sang pengembang harus membeli lagi untuk memperbaiki konsep yang baru dan ramai,” kata Ferry.
Jalan lain yang ditempuh pengembang dalam mengatasi masalah trade center yang kurang ramai.
“Trade center berukuran besar, peritel yang menjadi anchor tenant sangat menentukan. Peritel raksasa atau ternama bakal menciptakan daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Berarti, sungguhpun berlokasi bagus, trade center tak akan sukses bila pemilihan anchor tenant-nya kurang pas,” ujar Vivin.
Haryanto
Sumber : Rumah123
Usu inani perfecto quaestio in, id usu paulo eruditi salutandi. In eros prompta dolores nec, ut pro causae conclusionemque. In pro elit mundi dicunt. No odio diam interpretaris pri.